Fabel : Kepiting Bersahabat
Dua ekor kepiting, Angkaro dan Tunturana, bersahabat karib. Mereka tinggal bersama dipinggir laut, dipinggir bebatuan. Apabila air laut surut, mereka bersemunyi karena takut kepada orang-orang yang sedang mencari ikan dan mencari kepiting. Bila air pasang, Angkaro dan Tunturana girang bermain tanpa takut akan ditangkap manusia.
Pada suatu malam, ketika malam purnama, Angkaro dan Tunturana keluar menikmati keindahan alam. Ketika air laut pasang, manusia pun beramai-ramai menikmati sinar purnama seperti halnya makhluk-makhluk yang lain.
Angkaro : “Sahabat, badan kita polos, tak indah dipandang.”
Tunturana : “bagaimana kalau punggung kita dihiasi agar kelihatan menarik.”
Angkaro : “Baik sekali pendapat itu. Kita perlu mempercantik diri agar kelihatan menarik. Lalu bagaiman caranya?”
: “Begini saja.”
“Punggung kita lukis dengan warna-warni cat yang serasi warnanya dengan kulit kita.”
Angkaro : “Aku setuju. Sekarang marilah punggung kita percantik dirumah. Aku punya cat.kita bergantian menghiasi punggung.”
“Baik”
“Siapa dulu”
Tunturana : “Aku dulu.”
“Ukirlah punggungku dengan hiasan yang indah-indah.”
Angkaro mulai mengukir punggung Tunturana. Punggung Tunturana dihiasi dengan bulatan yang bagus berselang-seling besar kecil dari muka kebelakang dan dari atas kebawah. Lukisan itu sangat memmpesona.
Angkaro : “Sudah selesai sahabat .”
“bercerminlah dipermukaan air dibawah sinar bulan purnama!”
Tunturana pun bercermin.
Angkaro : “Bagus,bukan!”
Tunturana : “Ya, bagus sekali! Terima kasih sahabat!”
Angkaro : “Sekarang giliran kamu mengukir punggungku.”
Tunturana : “Baiklah! Sekarang tanamkan punggungmu, aku akan mempercantik tubuhmu.“(mengambil kuas dan cat untuk mengukir)
Tiba-tiba air laut pun surut. Datanglah. Datanglah pencari ikan membawa obor. Kedua ekor kepiting pun terkejut.
Tunturana : “Maaf, sahabat.”
“Orang-orang sudah datang hendak menangakap kita. Tak ada waktu luntuk melukis punggungmu.’
Angkaro : “Tidak! Punggungku harus kamu ukir, jangan biarkan polos!”
Melihat obor semakin dekat mata Tunturana mencakar-cakar punggung Angkaro dengan kuas dan cat. Punggung Angkaro sekarang penuh dengan cakaran tidak keruan karena tergesa-gesa menyelamatkan diri.
Tunturana : “Jangan berang sahabat.”
“Lukisanmu jelek karena bahaya sudah datang. Lebih baik tubuhmu penuh dengan cakaran daripada kita binasa. Apa boleh buat?”
Angkaro terpaksa menerima keadaan. Keduanya berkawan dalam bentuk amat beda. Tunturana cantik dan Angkaro jelek.
Pada suatu malam, ketika malam purnama, Angkaro dan Tunturana keluar menikmati keindahan alam. Ketika air laut pasang, manusia pun beramai-ramai menikmati sinar purnama seperti halnya makhluk-makhluk yang lain.
Angkaro : “Sahabat, badan kita polos, tak indah dipandang.”
Tunturana : “bagaimana kalau punggung kita dihiasi agar kelihatan menarik.”
Angkaro : “Baik sekali pendapat itu. Kita perlu mempercantik diri agar kelihatan menarik. Lalu bagaiman caranya?”
: “Begini saja.”
“Punggung kita lukis dengan warna-warni cat yang serasi warnanya dengan kulit kita.”
Angkaro : “Aku setuju. Sekarang marilah punggung kita percantik dirumah. Aku punya cat.kita bergantian menghiasi punggung.”
“Baik”
“Siapa dulu”
Tunturana : “Aku dulu.”
“Ukirlah punggungku dengan hiasan yang indah-indah.”
Angkaro mulai mengukir punggung Tunturana. Punggung Tunturana dihiasi dengan bulatan yang bagus berselang-seling besar kecil dari muka kebelakang dan dari atas kebawah. Lukisan itu sangat memmpesona.
Angkaro : “Sudah selesai sahabat .”
“bercerminlah dipermukaan air dibawah sinar bulan purnama!”
Tunturana pun bercermin.
Angkaro : “Bagus,bukan!”
Tunturana : “Ya, bagus sekali! Terima kasih sahabat!”
Angkaro : “Sekarang giliran kamu mengukir punggungku.”
Tunturana : “Baiklah! Sekarang tanamkan punggungmu, aku akan mempercantik tubuhmu.“(mengambil kuas dan cat untuk mengukir)
Tiba-tiba air laut pun surut. Datanglah. Datanglah pencari ikan membawa obor. Kedua ekor kepiting pun terkejut.
Tunturana : “Maaf, sahabat.”
“Orang-orang sudah datang hendak menangakap kita. Tak ada waktu luntuk melukis punggungmu.’
Angkaro : “Tidak! Punggungku harus kamu ukir, jangan biarkan polos!”
Melihat obor semakin dekat mata Tunturana mencakar-cakar punggung Angkaro dengan kuas dan cat. Punggung Angkaro sekarang penuh dengan cakaran tidak keruan karena tergesa-gesa menyelamatkan diri.
Tunturana : “Jangan berang sahabat.”
“Lukisanmu jelek karena bahaya sudah datang. Lebih baik tubuhmu penuh dengan cakaran daripada kita binasa. Apa boleh buat?”
Angkaro terpaksa menerima keadaan. Keduanya berkawan dalam bentuk amat beda. Tunturana cantik dan Angkaro jelek.
0 komentar:
Posting Komentar